Jika Anda pada saat bangun pagi kerap kali langsung terburu-buru memeriksa HP, menyeruput kopi, makan seadanya, segera bekerja, mengerahkan segala upaya untuk menghasilkan ide-ide brilian, menetapkan tenggat yang yang mepet, memiliki beban kerja yang tinggi dan selalu merasa kurang waktu, maka Anda sesungguhnya sudah hidup dalam masyarakat yang menganut budaya “ketergesaan produktif; hustle culture”.
Budaya yang mengharapkan Anda untuk selalu siap (always on) 24 jam, tidak boleh rehat, tidak ada istirahat akhir pekan, tidak ada liburan, dan tidak patut untuk bersenang-senang. Dalam budaya ini, kegiatan-kegiatan menyenangkan sebagai sekadar “self-reward”, dianggap sebagai sesuatu yang tidak produktif, tidak patut, tabu atau bahkan dosa.
Jika kita mau beristirahat, maka kita harus menyelesaikan pekerjaan dulu. Jika mau mengambil cuti, kita harus “tahu diri” dengan menyelesaikan semua KPI yang ada. Anjuran-anjuran seperti ini membuat kita lalu mengotak-ngotakkan antara kegiatan yang menyenangkan dan kegiatan yang “serius”. Cara pandang ini kemudian mempengaruhi bagaimana kita melihat berbagai hal di sekeliling kita. Sebagai contoh misalnya, bagaimana kita memandang aktivitas bermain game dengan belajar. Bermain game dianggap sebagai kegiatan bersenang-senang, sementara belajar dipandang sebagai kegiatan yang serius.
Meskipun penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa bermain game dapat memberikan dampak positif seperti meningkatkan fokus, keterampilan multitasking dan memori kerja pada orang dewasa (Heiden, Braun, Muller, and Egloff, 2019), serta meningkatkan fungsi kognitif dan emosional di tempat kerja (Pallavicini, Ferrari, dan Mantovani, 2018), namun masih terdapat pandangan umum bahwa bermain game itu buruk, tidak pantas dan sebaiknya tidak dilakukan karena bisa mengalihkan kita dari tanggung jawab dan kewajiban hidup.
Terkait dengan cara pandang seperti ini, terdapat setidaknya dua mitos utama tentang bermain game dalam kaitannya dengan pembelajaran dan pengembangan.
Pertama, banyak orang berpikiran bahwa bermain game hanyalah untuk anak kecil dan kaum kutu buku!
Pendapat itu tidaklah tepat sama sekali. Semua kelompok umur dan dengan berbagai minat serta hobby pada dasarnya menyukai bermain game, karena bermain sendiri sebenarnya adalah sifat dasar manusia. Manusia telah menunjukkan perilaku bermain sejak zaman dulu, dan lebih mengejutkannya lagi, permainan bukanlah produk budaya. Dalam bukunya yang berjudul Homo Ludens, Huizinga berargumen bahwa keberadaan permainan bahkan lebih tua dari budaya. Budaya merujuk pada peradaban manusia, sehingga produk budaya tidak mungkin ada kalau tidak dibuat oleh manusia. Sedangkan perilaku bermain sudah ditunjukkan hewan (lalu kemudian manusia) jauh sebelum peradaban manusia berkembang.
Oleh karena itu, rasa dan hasrat untuk bermain sebetulnya ada pada semua orang, terlepas dari umur, gender, status sosial dan ekonomi, bahkan kebangsaan sekalipun. Bentuknya juga beragam, mulai dari permainan tradisional sampai dengan permainan komputer. Dari waktu ke waktu, bermain menjadi satu dari beberapa hal yang akan tetap sama dalam hidup kita; kita “kecanduan” karena pada dasarnya semua orang suka bersenang-senang!
Jadi permainan dan kegiatan bermain adalah bisa untuk siapa saja, dari anak-anak hingga orang dewasa, di berbagai minat, hobby dan pekerjaan, local, nasional, regional, bahkan global.
Kedua, banyak dari kita berpikir bahwa kita tidak mungkin belajar atau mendapatkan wawasan yang berharga hanya dengan bermain game. Pendapat ini tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa masyarakat tradisional mewariskan informasi baru kepada generasi mudanya melalui permainan. Lebih spesifik lagi, penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya, anak-anak dalam masyarakat tradisional melakukan pembelajaran di alam terbuka, dilakukan tanpa pengawasan, dan membiarkan mereka bermain dan melakukan eksplorasi secara mandiri.
Sebagai orang Indonesia, kita juga bisa menemukan hal ini dari sejarah perkembangan budaya kita. Salah satu karakteristik budaya Indonesia banyak melibatkan mendongeng dan bermain, seperti yang bisa dilihat di wayang kulit, dan cerita rakyat, yang memanfaatkan kesenangan bermain (playfulness) dalam mewariskan nilai-nilai dari generasi yang lebih tua ke generasi berikutnya.
Selain itu, berbagai informasi dan keterampilan juga telah diajarkan melalui permainan tradisional. Misalnya, permainan congklak yang mengajarkan tentang dampak dan konsekuensi dari sebuah keputusan, atau main “rumah-rumahan” yang mengajarkan kita bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosial.
Dalam merancang sebuah game salah satu hal yang penting adalah menempatkan berbagai konteks dan memprediksi respon-respon yang mungkin muncul di kehidupan nyata, untuk menjadi bagian dari permainan. Inilah alasan mengapa game dapat didesain mendekati kenyataan dengan berbagai opsi respons yang masuk akal. Contohnya, ketika kita menjalankan sebuah misi dalam sebuah permainan, biasanya ada beberapa opsi yang dapat dipilih (misal: mencari petunjuk, membunuh naga dan maju ke level berikutnya, atau membaca ulang panduannya). Ini serupa dengan situasi ketika kita mencoba hal baru dalam hidup; kita memiliki beberapa opsi untuk mengatasi tantangan yang muncul. Sederhananya, game bisa dirancang sedemikian rupa agar bersifat realistis. Dengan demikian, proses pembelajaran dimungkinkan untuk terjadi.
Ketika sebuah game didesain khusus untuk tujuan pelatihan, kita didorong untuk mengatasi tantangan yang ada di dalam game, yang mengharuskan kita untuk mempraktikkan dan mengasah serangkaian kompetensi yang diperlukan seperti pengambilan keputusan, berpikir kritis, atau bekerja dalam tim. Ini menjadikan game bisa menjadi alat yang sangat baik untuk mengakselerasi proses dalam mempelajari keterampilan yang baru.
Selain itu, fitur game yang interaktif juga dapat membuat pemainnya “tenggelam” dalam konteks pembelajaran disajikan. Game juga memberikan kesempatan untuk melakukan kesalahan dan kegagalan. Dengan demikian motivasi untuk belajar bisa dipertahankan untuk tetap tinggi karena ada unsur psikologis seperti penasaran, tidak mau kalah, dsb.
Jadi game sebenarnya bisa digunakan sebagai sarana belajar, dengan syarat proses perancangan, konteksualisasinya sesuai dengan tujuan belajar dan si pembelajar itu sendiri.
Singkatnya, bersenang-senang sambil bermain game memiliki reputasi buruk di masyarakat kita karena dianggap sebagai aktivitas yang mengganggu fokus, menghabiskan waktu dan tidak berguna. Sudut pandang ini membuat persepsi masyarakat bahwa game yang tidak bisa dianggap serius, misalnya sebagai alat pembelajaran untuk orang dewasa, semakinlama semakin kuat. Meskipun begitu, bermain sesungguhnya merupakan sifat dasar manusia yang sejak awal peradaban telah membantu membangun masyarakat kita dalam banyak aspek. Penelitian dan studi terbaru juga telah mengkonfirmasi bahwa bermain game berhubungan dengan perkembangan kognitif pada orang dewasa ketika dirancang untuk tujuan pendidikan karena membuat kita dapat mencerna pembelajaran lebih efektif.
Merasa tertarik setelah membaca artikel ini? Cobalah game-based learning course milik PLAY dan rasakan bagaimana permainan dan pembelajaran bisa kamu dapatkan secara bersamaan, bahkan saling mendukung satu sama lain!
Referensi:
1. Von der Heiden, J. M., Braun, B., Müller, K. W., & Egloff, B. (2019). The Association Between Video Gaming and Psychological Functioning. Frontiers in Psychology,10. Doi:10.3389/fpsyg.2019.01731
2. Good gaming? Yes, video games can have positive effects on kids and adults. (2021, March 26). Herald Community Newspapers. https://www.liherald.com/westhempstead/premium/brandpoint/kids-family/good-gaming-yes-video-games-can-have-positive-effects-for-kids-and-adults,131343
3. Halbrook, Y. J., O’Donnell, A. T., & Msetfi, R. M. (2019). When and How Video Games Can Be Good: A Review of the Positive Effects of Video Games on Well-Being. Perspectives on Psychological Science, 14(6), 1096–1104. Doi:10.1177/1745691619863807
4. Pallavicini, F., Ferrari, A., & Mantovani, F. (2018). Video Games for Well-Being: A Systematic Review on the Application of Computer Games for Cognitive and Emotional Training in the Adult Population. Frontiers in Psychology, 9. Doi:10.3389/fpsyg.2018.02127
5. Huizinga, J. (2016). Homo ludens. Angelico Press.
6. Riede, F., Johannsen, N. N., Högberg, A., Nowell, A., & Lombard, M. (2018). The role of play objects and objects play in human cognitive evolution and innovation. Evolutionary Anthropology: Issues, News, and Reviews, 27(1), 46–59. doi:10.1002/evan.2155